Showing posts with label buku. Show all posts
Showing posts with label buku. Show all posts

Wednesday, January 2, 2013

Pembunuhan di Wisma Pendeta





Pembunuhan di Wisma Pendeta
Christie, Agatha. Pembunuhan di Wisma Pendeta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Pengarang: Agatha Christie
Alih bahasa Indonesia: A. Adiwiyoto
Judul asli: The Murder at the Vicarage (1930), diterbitkan oleh Collins Crime Club (Inggris) dan Dodd Mead and Company (Amerika Serikat)
Setting: Desa fiktif, St. Mary Mead, di Inggris sekitar akhir 1920-an atau awal 1930-an

Sinopsis
Leonard Clement adalah suami yang menggemaskan bagi Griselda, paman yang baik bagi Dennis, dan pendeta yang selalu bisa diandalkan oleh penduduk desa St. Mary Mead. Desa ini sepi dan terpencil, dihuni orang-orang yang tidak menarik. Hampir tidak ada petualangan luar biasa yang bisa terjadi di desa ini. Saking monotonnya kehidupan di desa, kebanyakan penduduk desa sangat suka bergosip dan suka sekali membesar-besarkan hal-hal sepele karena mereka begitu rindu akan drama kehidupan. Pendeta Clement selalu berusaha mentoleransi gunjingan-gunjingan tidak penting di antara ibu-ibu tua jemaat gereja, sambil selalu berusaha menebak apa yang ada di pikiran istrinya yang masih sangat muda dan kekanak-kanakan.
Pak Pendeta selalu punya hal-hal untuk dipikirkan. Permasalahan moral di desa biasanya lebih sederhana daripada di kota, tapi karena semua orang di desa saling kenal dan penduduknya lebih sedikit, suatu skandal kecil akan mengundang perhatian semua orang. Misalnya kedatangan Mrs. Lestrange, nyonya muda sangat cantik yang misterius yang tinggal di sebuah pondok di desa. Semua orang menggunjingkannya karena ia terlihat terlalu mahal bagi orang yang memilih terdampar di desa terpencil itu. Selain itu tidak pernah nampak ada seorang Mr. Lestrange yang mendampinginya sehingga muncul spekulasi, apakah ia seorang janda ataukah ia punya masalah dengan rumah tangganya.
Ada juga seorang arkeolog bernama Dr. Stone yang menggali suatu situs di desa itu. Ia tinggal di Blue Boar, penginapan lokal, dengan sekretarisnya yang sangat muda dan seksi, Miss Gladys Cram. Keduanya menjadi bahan gunjingan, karena terutama mereka tinggal di lantai yang sama di gedung yang sama, dank arena Miss Cram selalu menggunkan rok sangat pendek dan mulutnya seakan selalu terlihat seperti ‘mengulum sesuatu yang lebih daripada sekadar sebaris gigi’.
Selain itu, masih ada pelukis muda yang ganteng, Lawrence Redding, yang melukis gadis-gadis desa menggunkan pakaian renang. Griselda, istri Pendeta yang umurnya masih 25 tahun -20 tahun lebih muda dari Pak Pendeta sendiri –juga dilukis oleh Mr. Redding walau mungkin tidak dalam pakaian renang. Yang membuat gunjingan adalah hubungan Mr. Redding dengan Lettice Protheroe, anak Kolonel Protheroe. Seluruh desa mengira Lettice ada apa-apa dengan Mr. Redding, walau Miss Marple, perawan tua yang tinggal di sebelah Wisma Pendeta, yakin Mrs. Protheroe (ibu tiri Lettice) lah yang ada apa-apa nya dengan pelukis muda itu.
Di tengah semua ‘drama itu’, pada suatu hari terjadilah kasus yang menyebalkan di gereja. Ada uang persembahan yang hilang dan Jemaat yang mempersembahkan uang tersebut kersikeras kasus ini diselidiki. Sehingga terlibatlah Kolonel Prothero. Protheroe adalah seorang Kolonel kaya raya, penguasa distrik yang tidak disukai oleh hampir semua orang di desa karena sifatnya yang sok berkuasa dan jahat, yang suka menyusahkan orang lain atas nama keadilan. Pendeta berjanji akan mengusut kasus itu dengan sang Kolonel di ruang kerjanya di Wisma Pendeta pada pukul 6.15 petang.
Namun sore itu Pendeta mendapat telepon gawat bahwa seseorang di desa sakit keras dan akan segera meninggal. Pendeta bergegas menuju rumah orang tersebut untuk mendampingi di saat sakrat maut. Betapa herannya ia menemukan bahwa si sakit sebenarnya sudah hampir sembuh dan bahwa keluarga itu tidak pernah meneleponnya sore itu. Dipenuhi pikiran akan telepon iseng, Pak Pendeta pulang untuk menemui Kolonel Protheroe, si pemberang yang pastinya sudah menunggunya di ruang kerjanya. Betapa kagetnya ia ketika menemukan sang Kolonel sudah tergeletak tewas karena ditembak, tertelungkup di atas meja tulis sang pendeta.
Siapakah yang telah membunuh Pak Kolonel? Anaknya, Lettice, yang juga pemberang dan suka seenaknya sendiri? Istrinya, Anne, yang pendiam tapi terlihat tidak bahagia? Redding, pelukis itu? Mrs. Lestrange, yang asal usulnya beserta alasan kepindahannya ke St. Mary Mead sangat misterius? Griselda, istri Pendeta yang sifat dan sikapnya sama sekali tidak seperti istri pendeta? Atau kah orang yang sama sekali lain, yang punya motif tersendiri, salah satu di antara banyak orang yang punya dendam terhadap sang Kolonel yang dibenci banyak orang?



Novel ini diceritakan lewat narasi Pendeta Clement. Keterlibatannya dalam kasus ini tidak bisa dihindarkan karena TKPnya adalah ruang kerja pribadinya, tempat Pendeta menyusun khotbah-khotbahnya dan bertemu dengan para jemaatnya. Selain itu, ada juga Dr. Haydock, sahabat Pendeta yang pemikiran-pemikirannya akan moral sedikit berbeda dengan Pendeta Clement. Ada juga polisi-polisi yang terlibat, Inspektur Slack yang menyebalkan dan Kolonel Malchette yang kelelahan. Namun semua pria ini dengan teori-teori mereka yang disusun berdasarkan perspektif profesi mereka masing-masing, terkalahkan oleh seorang Miss Marple, perawan tua yang tinggal sendiri di sebelah rumahnya yang bertaman luas di sebelah Wisma Pendeta.
Miss Marple punya hobi berkebun, yang memungkinkannya melihat segala sesuatu yang lewat di jalan dekat rumahnya. Ia juga senang mengamati burung-burung lewat teropong, dan kadang-kadang yang ia perhatikan bukan sekadar burung. Namun hobinya yang terbesar adalah sifat manusia. Miss Marple berteori bahwa seluruh manusia di bumi ini bisa dikelompokkan dalam beberapa kelompok menurut sifat psikologis mereka. Misalnya Inspektur Slack sangat bisa disamakan dengan gadis pelayan di toko sepatu yang bersikeras menjual sepatu kepada seorang pelanggan yang sebenarnya ingin sepatu yang lain. Lewat hobi-hobinya ini, Miss Marple bisa dengan tepat menebak apa yang sebenarnya terjadi dari berbagai potongan fakta, dan siapa si pembunuh yang sebenarnya beserta motifnya.
Dari semua detektifnya Agatha Christie, Miss Marple adalah detektif favorit saya (yang kedua adalah Poirot). Biasanya kasus-kasus Miss Marple bertemakan pedesaan Inggris yang sepi dan klasik juga koreng-koreng moral yang mengendap di dasar jiwa anggota masyarakat terkemuka. Saya tidak terlalu suka kasus yang melibatkan agen-agen rahasia negara. Selain itu, ada juga kepuasan tersendiri ketika kita berusaha menyusun peristiwa-peristiwa misterius menjadi serangkaian effect and cause yang runtut dan logis.
Cerita ini mungkin bukan cerita Miss Marple favorit saya, tapi cerita ini agak lebih rumit dari kisah-kisah yang lain, karena kasus ini melibatkan analisis waktu yang sangat tepat sampai ke menit-menitnya untuk menyusun dan mematahkan alibi para tersangka. Kasus ini juga mengharuskan para pembaca mengerti denah desa St. Mary Mead untuk mengerti pola kejadiannya. Untuk itu, Christie menyediakan denah desa dan lingkungan tetangga Wisma Pendeta. Baru kali ini saya membaca buku Agatha Christie yang ada ilustrasi denahnya. Ada juga denah ruangan TKP, lengkap dengan tata letak furniturnya. Tapi menurut saya ada beberapa letak kursi dan meja yang tidak nyaman. Di novel digambarkan meja tulis tempat mayat tergeletak terletak di sudut ruangan, menghadap ke siku-siku pojok ruangan. Munurut saya di dunia nyata itu adalah penataan letak meja kerja yang sangat tidak nyaman. Orang kan lebih suka bekerja di dekat jendela supaya bisa mendapat angin segar dan pemandangan luas, bukan sudut ruangan tempat bertemunya dinding dengan dinding. Dan lagi penataan letak itu pasti membuat meja dan lantainya susah dibersihkan.
Selain itu, penggambaran Christie akan segala sesuatu selalu mutlak, tidak ada yang tanggung. Misalnya, semua orang setuju bahwa Mrs. Lestrange itu sangat cantik, Miss Cram itu sangat seksi, Miss Letice itu sangat menyebalkan, dan St. Mary Mead itu desa yang sangat sepi dan membosankan. Semua penggambaran dibantu dengan kata sangat yang membuat semua itu berkarakter terlalu kuat.

 Tokoh-tokoh

  • Pendeta Leonard Clement
  • Griselda Clement
  • Dennis Clement, keponakan Pendeta berusia 16 tahun yang bersemangat menyelidiki kasus di rumahnya ini.
  • Mary, gadis pembantu rumah tangga di Wisma Pendeta yang pembawaannya kasar, ceroboh, dan tidak cakap
  • Kolonel Protheroe
  • Lettice Protheroe
  • Anne Protheroe
  • Lawrence Redding
  • Mrs. Lestrange
  • Hawes, asisten Pendeta, yang terlihat sakit dan penggugup akhir-akhir ini
  • Miss Cram
  • Dr. Stone
  • Dr. Haydock
  • Inspektur Slack
  • Kolonel Malchette
  • Miss Marple
  • Mrs. Price Ridley, Miss Hartnell, Miss Wetherby: bersama Miss Marple, ketiganya adalah janda dan perawan-perawan tua yang paling kurang kerjaan dan paling suka bergunjing di lingkungan itu.
  • Raymond West, keponakan Miss Marple yang datang berkunjung. Penulis sukses yang menganggap desa St. Mary Mead membosankan.

.
Kutipan:
1. hal. 54-55
Kolonel Protheroe: “…Aku berpendapat otang harus menanggung semua perbuatannya dengan setimpal…mengapa seseorang diampuni dari hukuman atas perbuatannya hanya karena ia mengeluh tentang istri dan anaknya? Semua sama bagiku –tak pedua siapa pun dia… jika ia menlanggar hukum, biarlah hukum mengadili dia. Pasti kau setuju denganku.”
Pendeta Clement: “Kau lupa. Panggilan hidupku mewajibkan aku untuk menjunjung tinggi satu nilai di atas nilai-nilai lain –nilai pengampunan.”

2. hal 167
Dr. Haydock: “…Kita sekarang ngeri kalau ingat bagaimana kita dulu menghukum para wanita tukang sihir dengan membakar mereka. Aku percaya akan tiba saatnya kelak kita akan gemetar memikirkan bahwa kita pernah menggantung para penjahat…”
(Cerita ini memang berlangsung di masa ketika Inggris menghukum pembunuh dengan hukuman mati, misalnya hukum gantung atau kursi listrik.)
3. hal 178
Hawes: “… Saya terkesan oleh ucapan Anda sendiri, bahwa jika kelak ia mati, dia tak akan diadili berdasarkan kasih, tapi berdasarkan keadilan semata.”
(Tema moral yang diangkat di novel ini adalah tentang keadilan yang bertentangan dengan kasih, terutama karena kasih adalah jiwa agama Kristen. Hal ini tidak bisa dihindarkan karena narrator adalah seorang Pendeta. Mungkin Christie punya gagasan tentang hal ini, karenanya ia memilih seorang pendeta sebagai penutur cerita).
4. hal 196
Narator (Pdt. Clement): Tak ada yang lebih tak manusiawi daripada topeng yang dikenakan seorang pembantu yang baik.
(Para pembantu (maids dan servants) berperan penting dalam kehidupan para majikannya. Mereka jarang jadi korban atau tersangka dalam tulisan-tulisan Christie, namun lebih menjadi sumber informasi penting yang dibagi di ruang pembantu. Sebagai pembantu yang baik mereka sering harus berpenampilan polos, efisien, tanpa perasaan atau kemanusiawian sehingga tanpa sadar para majikan bisa mengekspresikan diri mereka dihadapan para pembantu karena mereka itu seperti furnitur saja yang tidak punya mata dan telinga selain sebagai fungsi-fungsi professional mereka. Namun, para pembantu Inggris, seperti yang digambarkan oleh Agatha Christie, adalah orang-orang terhormat yang professional, bukan pelayan tanpa harga diri yang dipandang sangat rendah oleh majikan-majikannya.)
5. hal 237
Lawrence Redding: “Percuma saja, polisi amat berkuasa.”
6. hal 255
Raymond West: “Saya beranggapan St. Mary Mead ini seperti kolam yang dangkal.”
Miss Jane Marple: “Menurut pendapatku, tak ada sesuatu pun yang begitu penuh tanda-tanda kehidupan seperti setetes air dari kolam dangkal yang dilihat di bawah mikroskop.”

7. hal 256
Miss Marple: “Hidup itu ternyata hampir sama di mana saja…. Dilahirkan, menjadi dewasa –bergaul dengan orang lain –terjadi benturan-benturan –lalu menikah dan lahirlah bayi-bayi…”
Raymond West: “Akhirnya mati… Dan mati yang tidak disertai akte kematian. Mati selagi masih hidup.”

8. hal 257
 Raymond West: “…Apa yang terjadi dalam hidup ini selalu tidak sama dengan apa yang seharusnya terjadi.”

9. hal 256
Narator (Pdt. Clement): Anak yang malang. Cinta monyet adalah penyakit yang ganas.

10. hal 284
Narator (Pdt. Clement): Sering aku heran mengapa seluruh dunia cenderung mengambil kesmpulan secara umum. Kesimpulan-kesimpulan begitu jarang sekali atau tak pernah benar, dan biasanya sangat tidak cermat.

11. hal 322
Narator (Pdt. Clement): Waktu adalah sesuatu yang ganjil.

12. hal 327-328
Narator (Pdt. Clement): Massa adalah sesuatu yang aneh…emosi massa adalah sesuatu yang ganjil dan menakutkan.

13. hal 329
Pdt. Clement: “Malam ini juga jiwamu akan menggugatmu.”
14. hal. 265
 Miss Marple: “Saya tahu bahwa dalam buku cerita pelakunya selalu orang yang sama sekali tak terduga. Tapi dalam kehidupan yang sebenarnya, ini tidak cocok. Sering kali yang gamblang itulah yang benar.”

15. hal 328
Narator (Pdt. Clement): Seorang pecinta kemanusiaan yang fanatik, jika marah maka kemarahannya akan liar dan kasar seperti itu.

16. hal 383
Miss Marple: “…Orang muda berpendapat bahwa orang tua itu tolol –tapi orang tua tahu bahwa orang muda itu tolol!”

17. hal 385
Lettice Protheroe: “…Dan kebencian membuat semuanya lebih mudah bagi kita.”


Novel-novel Agatha Christie lainnya yang bagus:
Mayat dalam Perpustakaan, Kasus-kasus Terakhir Miss Marple, Kasus-kasus Perdana Poirot, Gadis Ketiga, Burung-burung Hitam, Sepuluh Anak Negro, Kereta 4.50 dari Paddington, Nemesis, dan sebuah kumpulan cerpen dengan tokoh misterius bernama Mr. Quinn yang seperti Harlequin.

Sunday, December 30, 2012

Kartun Riwayat Peradaban Jilid II, BAB 8-13: Dari Berseminya Cina sampai Rontoknya Romawi

 
 
Gonick, Larry. Kartun Riwayat Peradaban Jilid II. Jakarta: KPG. 2006.

Pengarang: Larry Gonick
Pertama kali diterbitkan oleh: 
The Doubleday Broadway Publishing Group (1994) dalam judul The Cartoon History of the Universe II
Alih bahasa Indonesia: Frans Kowa, Damaring Tyas Wulandari Palar
Setting: India, Cina, Romawi, beberapa ratus tahun SM sampai beberapa tahun M.
Rating: 4 dari 5 
 
Setelah menonton Asterix Obelix tidak ada salahnya membaca buku ini untuk mengetahui hal-hal tentang kekaisaran Romawi. Dibuka dengan peradaban awal India yang tidak dapat ditaklukkan Alexander the Great, dilanjutkan kerajaan-kerajaan Cina purba, dan disela-sela kisah-kisah tentang kekaisaran Romawi.
Ada banyak penokohan yang tidak lazim di sini, misalnya pembeberan bahwa Alexander the Great ternyata gay dan Julius Caesar ternyata kecil, kurus, dan tukang omong besar. Konflik-konflik kerajaan besar yang berdarah-darah ditelusuri penyebabnya sampai ke pertengkaran keluarga kerajaan, perselingkuhan ibu suri dengan perdana menteri, dan lain-lain.
Gaya penuturannya lucu, tapi terjemahannya bikin kelucuannya berkurang.
Buku ini yang kedua dari tiga seri Kartun Riwayat Peradaban.

Friday, December 28, 2012

HOBBIT (atau Pergi dan Kembali)




Tolkien, J.R.R. Hobbit. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Pengarang: J.R.R Tolkien
Pertama kali diterbitkan oleh: HarperCollinsPublishers Ltd (1937) dalam judul The Hobbit by J.R.R Tolkien
Alih bahasa Indonesia: A. Adiwiyoto
Setting: Belantara, lama berselang  -waktu itu dunia masih sunyi dan warnanya jauh lebih hijau
Rating: 4,5 dari 5

Tokoh
Bilbo Baggins, hobit yang senang hidup damai tapi ternyata berbakat jadi petualang hebat.
Gandalf: penyihir hebat yang hampir tahu segala dan bisa segala. Hampir mirip Dumbledore nya Harry Potter
Para Kurcaci:
·         Thorin Oakenshield, cucu Raja di Bawah Gunung yang ingin merebut kembali kerajaan dan harta keluarganya yang direbut Smaug.
·         Balin, teman kecil Thorin.
·         Fili dan Kili, yang termuda di antara para Kurcaci, keponakan Thorin
·         Bombur, Kurcaci berbadan paling subur
·         Bofur, Bifur, Oin, Gloin, Dwalin, Dori, Nori, Ori,
Para Peri, ada yang tinggal di Hutan Mirkwood yang seram, ada sekelompok ramah yang tinggal di Rumah Ramah Terakhir
Para Goblin, musuk Peri, Kurcaci, dan Manusia
Para Troll, raksasa-raksasa rawa yang bodoh
Para Laba-laba
Para Warg, gerombolan serigala jahat sekutu goblin
Para Warga Danau Esgaroth, Manusia yang masih tinggal di Belantara dan berdagang dengan para Peri Hutan
Beorn, manusia setengah beruang yang ramah tapi ganas
Elfrond, aduh ini siapa ya… lupa.. kalo ga salah salah satu Peri di Rumah Ramah Terakhir yang paling disegani
Smaug, naga jahat yang merebut kerajaan Kurcaci dan senang tidur di atas tumpukan hartadDan lain-lain


Kutipan
Bilbo: Kami di sini lebih suka hidup tenteram dan tidak menyukai petualangan. Petualangan Cuma membawa kesulitan, dan tidak menyenangkan! Membuat makan malam jadi terlambat! (hal. 15)


Thorin: Kalau saja kami semua lebih menghargai makanan dan nyanyian daripada harta dan emas, dunia pasti akan lebih menyenangkan. (hal 329)


“Selamat pagi!” Bilbo memberi salam dengan gembira… “Apa maksudmu?” tanya Gandalf. “Apa kau mendoakan aku selamat di pagi ini, atau bermaksud mengatakan bahwa pagi ini penuh keselamatan? Atau bahwa pagi ini kau merasa selamat, atau di pagi ini kita akan selamat?”… “Semuanya sekaligus,”jawab Bilbo. (hal 14-15)




Bilbo Baggins adalah hobbit berusia 50an yang hidup nyaman di liangnya yang rapi di bawah Bukit. Seperti hobbit-hobbit lain, ia tidak suka petualangan. Ia lebih suka makan kira-kira enam kali sehari, mengisap tembakau, dan duduk santai di kursi malasnya sambil memandang padang rumput di sebelah rumah. Kegiatan-kegiatan itu tentu saja tidak dapat dilakukan kalau dia pergi berpetualang.  Tapi Gandalf, penyihir hebat yang selalu bisa menciptakan petualangan di manapun ia berada, menceburkannya ke dalam petualangan berbahaya di mana Bilbo bergabung dengan rombongan Kurcaci yang hendak merebut kembali harta leluhur mereka di Gunung Sunyi. Bilbo sangat enggan bergabung, pertama-tama karena Gunung itu sangat jauh letaknya dan lagi harta itu dijaga naga ganas bernama Smaug. Naga ini tidak bisa mengagumi harta benda, tapi senang merebutnya. Rombongan Kurcaci, dipimpin Thorin yang menyebut diri Raja di Bawah Gunung, merekrut Bilbo terutama karena mereka butuh orang ke-empat belas. Rombongan itu terdiri dari 13 kurcaci, angka sial. Perjalanan itu jauh dan penuh rintangan tak terduga, mereka tidak butuh tambahan kesialan anga pula. Bilbo pun diberi jabatan sebagai Pencuri mereka, ujung tombak rombongan itu. Dalam perjalanannya, Bilbo yang senang bernyaman-nyaman di rumah rupanya memiliki bakat petualangan yang tidak ia duga sebelumnya. Berkali-kali Bilbo menyelamatkan para Kurcaci dan mengantar mereka sampai ke Gunung Sunyi, tempat Smaug tidur di atas keeping-keping emas dan perak, batu-batu permata, perhiasan, berbagai perlengkapan senjata bertahtakan berlian, harpa-harpa emas, dan masih banyak lagi.

Cerita yang sangat bagus, dituturkan dengan apik, bijaksana, dan penuh semangat. Penokohannya rumit dan jumlahnya banyak, khas epik kuno.  Di tambah lagi, ada banyak lirik nyanyian di sana sini yang menggambarkan suasana hati para tokohnya. Selain itu ada juga dua peta yang menggambarkan dunia tempat cerita ini berlangsung sehingga kita bisa membayangkan bentuk geografisnya. Tapi mungkin seharusya judul cerita ini bukan hanya Hobbit, tapi Hobbit dan tiga belas Kurcaci, atau Petualangan Bilbo Baggins, si Hobbit dari Bag-Ends. Tapi The Hobbit saja juga sudah sempura.
Penerjemahannya juga juara. Lirik-lirik nyanyiannya di terjemahkan dengan indah dan berima, seakan-akan penerjemah adalah si pengarang sendiri. Ada banyak juga kosa kata yang jarang digunakan oleh penerjemah dan pengarang Indonesia jaman sekarang, misalnya ‘srigunting’ dan ‘salesma’.
Ada banyak bahasan yang bisa didiskusikan di cerita ini, misalnya penggunakan makhluk-makhluk mitos Eropa dalam penokohan. Kalau mau agak konspirasi, bisa juga membahas tentang jenis-jenis makhluk yang mewakili berbagai ras manusia di dunia nyata.

Sekuel: The Lord of The Rings saga.  Tapi males bacanya, ruwet banget!